BIOGRAFI KH. AHMAD MAKHDUM ZEIN


KH. Ahmad Makhdum Zein dikenal sebagai ulama’ masyhur di kalangan masyarakat Mranggen Demak Jawa Tengah. Beliau merupakan menantu dari pengasuh pondok pesantren Futuhiyyah Mranggen KH. Muslih bin Abdurrohman. Didirikannya pondok pesantren Al-Mubarok merupakan salah satu ikhtiar beliau dalam membimbing, mendidik sekaligus menghantarkan santri-santri menuju kesuksesaan dunia dan akhirat. Kesederhanaan menjadi identitas yang melekat kuat pada dirinya. Pada kesempatan ini, penulis mencoba mendeskripsikan ketokohan beliau yang dipercaya mampu menjadi ketauladanan yang luar biasa. Berharap, semoga ini menjadi bahan renungan bagi para santri untuk terus mengingat jasa beliau sekaligus menjadikan beliau sebagai tauladan dalam kehidupan kita.

  •          Masa Belajar
KH. Ahmad Makhdum Zein, beliau lahir di Kaliwungu, Kendal bertepatan pada hari selasa (17 Sya’ban 1347 H/ 29 Januari 1929). Beliau berasal dari keluarga terkemuka di daerahnya. Kedua orang tua beliau adalah guru ngaji dan dibesarkan dilingkup pesantren.  Seperti kata pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, itulah yang terjadi pada diri beliau.  Berkat doa serta bimbingan kedua orang tua, beliau berhasil mengikuti jejak kedua orang tua beliau menjadi sosok yang berilmu dan mampu mengamalkan ilmunya. Beliau pernah mengenyam pendidikan sekolah rakyat (setingkat SD). Meskipun demikian, kesungguhan dan kecintaan beliau dalam menuntut ilmu, menjadi wasilah keberhasilan beliau menjadi sosok yang dihormati dan disegani akan kedalaman ilmunya.
Beliau adalah putra kedua dari lima bersaudara. Terlahir dari pasangan suami istri yaitu Bapak Zaenal Abidin dan Ibu Sumiyatun. Kedua orang tua mendidik dan mendorong kelima anaknya menjadi orang yang cinta ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Sebagai putra pertama, beliau memilki tanggungjawab besar untuk memberikan ketauladan kepada adik-adiknya.
Setelah menamatkan belajar di sekolah rakyat, sekitar tahun 1950-an, beliau memilih melanjutkan pendidikannya di pesantren dengan tujuan untuk mendalami ilmu agama. Belajar di pesantren menjadi pilihan utama beliau. Dari hal tersebut, selanjutnya bapaknya mengarahkan untuk menuntut ilmu agama di daerah Mranggen, yaitu Pondok Pesantren Futuhiyyahdi bawah asuhan KH. Muslih bin Syekh KH. Abdurrohman bin Qosidil Haq. Dipilihnya pesantren tersebut karena Pondok Pesantren Futuhiyyah pada kala itu sudah sangat masyhur di masyarakat.
Awal mula masuk ke pesantren, sebagaimana santri-santri lain. Rasa rindu dan malu menyatu. Namun, seiring berjalannya waktu dan kedewasaan yang terus bertambah, sifat dan karakter beliau mulai muncul. Kekhusyukkan dalam beribadah serta tawadlu’nya kepada kiai sungguh luar biasa. Shalat berjamaah adalah ritual utamanya sebagai bentuk ketawadlu’an beliau kepada kiai. Meskipun dalam keadaan kurang sehat, beliau tetap ikut serta dalam shalat berjamaah. Selain itu, beliau terkenal sebagai figur yang penuh kesabaran dan kesederhanaan. Dalam pergumulan bersama santri lain, beliau sangat halus dalam bertutur dan bersikap. Bahkan diceritakan beliau jarang marah dalam menyelesaikan permasalahan dengan temannya. Sikap dan karakter seperti inilah yang seharusnya dicontoh oleh para santri, khususnya santri pondok pesantren Al-Mubarok. Dalam berkomunikasi, berdiskusi (musyawarah), beliau senantiasa menyampaikan dengan nada pelan tapi lugas, dan mudah dipahami.
Selama belajar di pesantren, beliau terkenal piawai dalam mengkaji ilmu nahwu shorof. Selain itu, beliau juga gemar mengkaji fiqh, ushul fiqh dan tasawuf. Keistiqomahan beliau dalam tadarus Al-Qur’an, semakin menjadikan tiap lafadz yang dibacakan terdengar jelas dan fasih. Meski tidak Hafidzul Qur’an, beliau banyak hafal surat-surat yang ada di dalam al-Qur’an. Salah satu amalan sekaligus anjuran beliau kepada santrinya untuk mengistiqomahkan membaca surat al-Kahfi setiap malam jum’at. Diyakini bahwa surat tersebut dapat mempermudah setiap kesulitan serta terhindar dari bencana di hari akhir. Selain itu, beliau juga menghimbau santrinya untuk tidak melupakan membaca al-Qur’an setiap, meski hanya membaca satu halaman.
Selain kedalaman ilmu agama yang dimiliki, beliau memiliki talenta luar biasa dalam bidang tulis-menulis (khot & kaligrafi). Bahkan, informasi yang didaatkan oleh penulis bahwa beliau pernah menjadi Khotib Thoriqoh Nasional dan penulis dari karya-karya ilmiah KH. Muslih, seperti Manaqib Nurul Burhany, ilmu tajwid, tahlil kemasyarakatan, dan lain-lain. Bahkan ada sebuah ceita bahwa beliau pernah memotong rambut salah satu santrinya (Ust. Masykur Ali), kemudian rambut tersebut digunakan untuk menulis sebuah kaligrafi 
Pada suatu hari, KH. Ahmad Makhdum Zein diminta pulang ke rumah oleh kedua orang tua beliau. Selang beberapa hari dari kepulangan KH. Ahmad Makhdum Zein, Bapak beliau (Zainal Abidin) wafat. Peristiwa tersebut menyisakan kepedihan mendalam. Saat itu merupakan masa yang dianggapnya begitu berat dalam kehidupan beliau. Mendengar kabar duka tersebut, selanjutnya KH. Muslih mengirim surat kepada KH. Makhdum untuk berkenan kembali ke pondok (PP. Futuhiyyah). Namun kembalinya beliau ke Mranggen tidak untuk nyantri kembali, melainkan untuk dijodohkan dengan putri sulung KH. Muslih yaitu Umi Hj. Al-Inayah.   
Peristiwa penuh sejarah terjadi sekitar tahun 1960-an, resmi sebagai pasangan suami istri, KH. Ahmad Makhdum Zein dan Umi Hj, Al-Inayah. Dari pernikahan dengan Umi Hj. Al-Inayah, beliau dikaruniai sebelas anak, terdiri atas lima laki-laki dan enam perempuan. Di mana putri kedua beliau (anak ketiga) telah wafat disaat masih bayi. Akan tetapi, masa-masa indah KH. Makhdum bersama Umi Hj.Al-Inayah harus berakhir sekitar tahun 1989, Umi Hj. Al-Inayah dipanggil oleh sang maha kuasa. Kala itu, beliau meninggalkan seorang putri yang masih kecil, yaitu neng Fina Zakiyyah. Setelah itu, KH. Makhdum Zein menikah kembali untuk kali kedua dengan Umi Nur Hamidah untuk melanjutkan kepengasuhan Neng Fina Zakiyyah. Umi Nur Hamidah sendiri merupakan salah satu santri beliau. Dari pernikahan tersebut, KH. Makhdum Zein dikaruniai 4 orang anak (dua laki-laki dan dua perempuan), sehingga keturunan beliau berjumlah empat belas anak
Awal berdirinya pondok pesantren Al-Mubarok, terjadi setelah pernikahan KH. Makhdum Zein dengan Umi Hj. Al-Inayah oleh KH. Muslih Al Maroqi. KH. Mahdum diberi sebidang tanah yang letaknya tidak jauh dari kawasan pondok pesantren Futuhiyyah, tepatnya di daerah Brumbungan Mranggen. Tanah inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren Al-Mubarok. Meskipun telah memiliki pondok sendiri, KH. Makhdum tidak lupa memberikan perhatian kepada keluarga. dalam mendidik putra putrinya, pendidikan merupakan priortas utama. Tidak sekedar menuntut ilmu, beliau mendorong putra putrinya untuk berusaha menghafalkan al-Qur’an. Beliau senantiasa rajin dalam mengawasi para santri dengan terjun langsung ke pesantren.

  •      Kiai Kharismatik dan Bersahaja
KH. Ahmad Makhdum Zein adalah sosok yang sangat dikagumi oleh banyak orang karena sikap kesederhanaannya. Meskipun berstatus sebagai seorang kiai, beliau gemar menjaga kebersihan dengan memberikan contoh langsung kepada santrinya dengan cara menyapu, memunguti sampah, dan membakarnya. Kegiatan itu beliau lakukan setiap hari. Pernah suatu kisah menarik terjadi bahwa salah satu santrinya yang saat itu turut membantu membakar sampah, melihat api yang mulanya berkobar-kobar menjadi kecil saat ditinggal oleh KH. Makhdum. Kemudian, disaat KH. Makhdum kembali ke tempat tersebut, api itu kemudian membesar lagi, seakan-akan api itu ta’dzim kepada KH. Makhdum. Selain membakar sampah, hal lain yang sering dilakukan KH. Makhdum adalah membersihkan saluran air dan toilet. Meskipun ada santri yang membantu, namun beliau tidak pernah sungkan untuk tetap melakukannya.
Dalam menghadapi masalah, beliau selalu menyikapinnya dengan santai dan tidak terburu-buru. Semua urusan tentang pondok pesantren dipercayakan kepada pengurus. Beliau tidak ingin ikut campur mengenai urusan tekhnis. Hal ini dilakukan agar pengurus pondok pesnatren lebih terlatih dan terampil dalam mengurus sebuah lembaga pendidikan. Apabila ada santri yang nakal, beliau masih mempercayakan pengurus untuk mengarahkannya. Namun, jika tingkat kenakalannya sudah keterlaluan, maka beliau ikut turun tangan. Akan tetapi, beliau tidak pernah memarahi santri tersebut. Bahkan, santri yang bersangkutan hanya disuruh memijat beliau, diajak membakar sampah atau hal lainnya. Semoga keberkahan senantiasa terlimpah pada diri para santri Al-Mubarok.
KH. Mahdum tidak pernah menghabiskan waktu mengikuti organisasi. Namun, dulu beliau pernah ikut rapat pemerintahan di Simpang lima Semarang. Dirasakan ada kejanggalan di acara tersebut (suap menyuap), maka seketika itu, beliau langsung memutuskan untuk pulang. Berbicara masalah kesederhanaan, hal yang paling sering diceritakan adalah beliau selalu berbelanja kitab di Semarang (toha putra) dengan berjalan kaki.

  •    KH. Makhdum Zein dan Karomah
Ketika Allah Swt sudah mencitai hambaNya, maka disitulah banyak keistimewaan dari Allah Swt yang diberikan kepada hambaNya, termasuk dalam hal ini beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh KH. Makhdum Zein. Beberapa kisah bermunculan yang terkait dengan keistimewaan beliau. Beberapa kisah akan disajikan sebagai berikut
1.      Waktu pengecoran lantai dua garasi atas, salah satu dari tukang berkata kalau koral, pasir dan semen kurang, selanjutnya KH. Makhdum menjawab sembari melihat bahan-bahan tersebut ”ndi to seng kurang, kui turah-turah”. Kemudian beliau masuk (entah ke ndalem atau ke kamar) dan tidak ujung keluar. Pada saat itu pula, bahan bangunan yang tadinya kurang menjadi tidak habis-habis saat digunakan sampai atas garasi selesai dicor.
2.      Pada suatu saat, pada musyawarah mengenai haflah pondok antara pengurus putra dan pengurus putrid, tiba-tiba KH. Makhdum muncul dari pintu utama dan masuk ke ndalem. Selang beberapa waktu, tiba-tiba beliau kembali muncul dari pintu utama dan kembali pula masuk ke ndalem. Hal ini dilakukan beliau mungkin bermaksud menegur, karena pada waktu musyawarah terjadi, tidak ada penghalang (satir) antara pengurus putra dan putri. Di luar itu, kemungkinan besar masih banyak karomah beliau yang sempat disaksikan oleh santri-santri beliau.

  •        Masa Berpulang.
Kepulangan KH. Makhdum terhitung singkat. Kepulangan beliau mengejutkan banyak pihak karena memang pada diri beliau tidak mengalami sakit dalam waktu yang lama. Bahkan satu hari sebelum meninggal beliau masih bisa memimpin shalat berjamah. Kala itu, tepatnya malam selasa, beliau menyuruh para santrinya untuk membaca ayat kursi. Entah tidak sebagaimana biasanya dan tidak tahu maksud beliau menyuruh membaca ayat kursi, padahal malam-malam selasa yang telah lewat tidak pernah ada ritual seperti itu. Selasa pagi, disaat semua santri menimbal ilmu di sekolah/madrasah, beliau menghembuskan nafas terakhirnya 75 tahun). Beliau meninggal sekitar tanggal 24 September 2002.